Kedahsyatan cinta tidak selamanya bisa dijadikan referensi untuk membenarkan poligami dalam praktiknya. Keadilan dalam prakteknya bukanlah suatu hanya dipandang dari materi, fisik atau harta. Tetapi juga menyangkut perasaan hati. Adil itu mudah saja diucapkan, tapi adil tidak bisa diukur dengan hati. Karena itu, tidak ada sesungguhnya, seorang istri ingin dimadu sekalipun mengizinkan suaminya menikah lagi lantaran sesuatu hal misalnya istri cacat badan, tidak bisa melahirkan, menderita penyakit berat yang tak bisa lagi melayani suami. Makanya tak heran apabila kita banyak melihat sebuah rumah tangga yang tadinya rukun damai suatu ketika hancur lebur akibat nambah istri lebih dari satu, ironis bukan? Rumah tangga yang sudah di bina bertahun-tahun hingga memiliki segudang anak lantas kandas begitu saja karena adanya perkawinan baru. Pertengkaran dalam rumah tangga bukan saja terjadi pada sebuah rumah tangga berpoligami/yang beristri banyak, tetapi terjadi juga pada rumah tangga yang lain...